TAFAKKUR RMADLAN: 6 [Bedakan Takut dengan Taqwa]

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Hidup adalah pergelutan dengan rasa takut, sehingga para pujannga mengatakan bahwa "Al-Insaanu baina makhoofatihi" mauisia terjebak ditengah rasa takutnya. Maka itu, Al-Qur'an memberikan jalan keluar: " Demikianlah [tipu dya syaitan] menakut-nakuti hamba2 Allah, maka janganlah kalian takutah kepada mereka tetapi bertaqwalah kepadaKU [Q.S. Ali Imran: 175]

Takut kepada Allah sebenarnya selaras dengan dengan ke-Maha Kasih dan Pemurahnya Allah SWT karena sebaigaimana firman-Nya: Kasih sayang-KU meliputi kemurkaan-KU. Oleh sebab itu sikap menghindari segala hal yang dapat melampau kasih sayang sayang Allah Adalah ketaqwaan, bukan ketakutan.

Adapun jenis ketakutan yang berlaku diantara makhluk adalah seperti narasi canggih berikut ini. Silahkan disimak seutuhnya, sbb:

" Rasa takut adalah satu-satunya lawan sejati kehidupan. Hanya rasa takut yang mengalahkan kehidupan. Dia musuh yang pintar dan licik. Aku tahu betul itu. Rasa takut sama sekali tak kenal malu, tak peduli hukum atau aturan apa pun, dan tak kenal ampun. Dengan mudah dia bisa menemukan kelemahan kita yang utama, dan menyerangnya. Dan yang mula-mula diserang selalu pikiran kita. Saat kita sedang mersa tenang, yakin, bahagia, rasa takut itu menyelinap bagai mata-mata ke dalam pikiran kita, menyamar dalam selubung keraguan tipis. Pikiran kita berusaha menolak keraguan ini dengan memunculkan rasa tak percaya. Tapi dengan mudah keraguan akhirnya menang juga. Kita menjadi cemas. Tapi masih ada akal sehat untuk menolong kita. Kita pun kembali tenang, sebab akal sehat ini dilengkapi dengan teknologi senjata-senjata paling mutakhir. Tapi sungguh mengherankan, meski telah menggunakan taktik-taktik yang lebih hebat dan berhasil memperoleh sejumlah kemenangan mutlak, toh akal sehat akhirnya kalah juga. Kita menjadi lemah, bimbang. Kecemasan pun berubah menjadi rasa takut.

Berikutnya, rasa takut ini menyerang raga kita sepenuhnya. Raga yang sudah sedari tadi menyadari ada sesuatu yang sangat tidak beres. Paru-paru kita sudah terbang seperti burung, dan isi perut kita serasa sudah merayap pergi seperti ular. Sekarang lidah kita mati kejang seperti opossum, sementara rahang kita mulai gemetaran. Telinga menjadi tuli. Otot-otot kita gemetar seperti orang kena malaria, dan kedua lutut kita saling berantuk seperti sedang berdansa. Jantung berdentum-dentum keras, sementara lubang anus kita terlalu kendur. Begitu pula halnya bagian-bagian tubuh yang lain. Keseluruhan tubuh kita luluh lantak dengan caranya masing-masing. Hanya mata kita yang masih berfungsi dengan baik. Mata selalu menaruh perhatian semestinya pada rasa takut.

Dengan cepat kita pun membuat keputusan tergesa-gesa. Kita sudah lupa pada faktor-faktor yang semestinya menjadi andalan terakhir, yakni harapan dan keyakinan. Nah, kita pun kalah. Rasa takut, yang sebenarnya hanya perasaan, berhasil menundukkan kita.

Hal ini sulit sekali dijelaskan dengan kata-kata. Sebab rasa takut itu–rasa takut yang sesungguhnya, yang mengguncang kita sampai ke ulu hati, yang kita rasakan saat dihadapkan pada akhir hidup kita–akan bersarang dalam ingatan, seperti gangren. Dia membuat lain-lainnya menjadi busuk, termasuk kata-kata yang ingin kita gunakan untuk menggambarkannya. Jadi, kita mesti bersusah payah kalau hendak mengekspresikan rasa takut itu. Kita mesti berjuang keras menyuarakan kata-kata itu. Sebab jika tidak, jika rasa takut itu menjadi kegelapan tanpa kata yang berusaha kita hindari, atau bahkan berhasil kita lupakan, berarti kita membuka diri terhadap lebih banyak serangan rasa takut, sebab kita tak pernah benar-benar melawan musuh yang telah mengalahkan kita itu". Demikian dari -Life of Pi, Yann Martel-

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 6 Ramadlan 1434 H
Hasanain Juaini