Langkah Strategis Membangun NTB
Sejak tahun 2008, paska ditemukannya Chipset Wimax oleh putra Indonesia Eko Fajar Nurprasetyo, khayalan dunia akan datangnya sebuah medan usaha penangguk duit mulai menjadi kenyataan.
Endusan para pengusaha futuristic yang haus innovasi menguntungkan mulai menghentak Kemenkominfo, bayangkan saja sebab menkominfo belum merilis aturan yang mengatur penggunaan "jalan tall berkomunikasi itu" baik dalam bentuk peraturan maupun Undang Undang. Namun kerana prosfeknya sudah nyata dan jelas akan mendatangkan uang berlipat-lipat kali dari apa yang dihasilkan usaha Wi-fi, maka bertalu-talulah Genderang perang perebutan tender untuk mendapatkan hak usaha telekomunikasi berbasis wi-max di seluruh wilayah Indonesia.
Singkatnya, bidang usaha yang menyediakan internet-lines ini akan menelan GSM maupun 3G sebagaimana flashdisk menelungkupkan usaha-usaha pita kaset dan VCD maupun [nanti] DVD.
Daerah-daerah gemuk seperti Jabodetabek, Surabaya, Jogja, Medan, Makassar izin prinsipnya sudah berada didalam genggaman perusahaan-perusahaan besar seperti XL, Alcatel, Bakry bahkan telkom sendiri melalui anak perusahaannya telkomsell. Wilayah Bali, jelas telah berada ditangan PUTRA BALI sendiri, Nah kini giliran wilayah NTB. Apa yang harus dilakukan?
Dengan lantang saya ingin berteriak: "Wahai saudara-saudaraku bayangkanlah, kelak jika sen demi sen duit masyarakat NTB akan bagaikan banjir mengalir kedalam kocek para pengusaha dari luar NTB, maka akan seperti apakah nasib pembangunan ekonomi kita? Ritail, bank, asuransi, mall-mall milik luar [sebelum sampai seterusnya] telah menguras lembar demi lembar, keping demi keping uang yang dengan susah payah kita bawa kemari melalui gaji-gaji para TKI, TKW, PNS dan hasil bumi kita, kemudian dengan tanpa kita mau menyadarinya, dengan mudahnya dilahap habis pihak luar yang tentu TIDAK memiliki tanggung jawab moral dan psikologis untuk memberdayakan NTB. Bila perlu mereka bisa tertawa menonton kita sekarat dan mati. CSR? huh...cuma jadi bahan perkelahian saja.
Apa yang mungkin kita lakukan?
Bidang Usaha penyediaan layanan Wi-max ini sangat baru, belum tegas aturannya, tidak terlalu menelan biaya operasinal yang besar, namun memerlukan KEKUASAAN untuk mengcengkeramnya. Kemampuan perusahaan swasta lokal tentu bukan padanan bagi perusahaan2 besar dan kaya dari Luar, Namun jika "Perusahaan Plat MERAH Gerbang NTB Emas" memiliki keberanian dan kreatifitas, maka NTB bisa memiliki perusahaan penyedia layanan Wi-max-nya sendiri. Selain pihak GNE dan Pemprov sebagai pemilik, Legislatif di Udayana juga harus jadi palang pintu membela kepentingan bersama ini agar tak boleh ada yang menghalanginya.
Untuk bisa membayangkan kedahsyatan wi-max ini, kita hanya perlu sedikit mengernyitkan dahi dan hitungan sederhana tanpa kalkulator:
1. Teknologi phonesell yang saat ini sedang pesta pora sekalipun telah menurunkan harga, akan benar-benar menjadi bahan tertawaan dalam 15 tahun mendatang karena mereka telah mengekploitir manusia dengan memaksa membeli HP, kartu, roaming dll. Padahal apa yang diperlukan manusia sekarang adalah "sekedar media pengantar menuju jaringan internet yang jelas sudah gratis sedunia".
2. teknologi phonesell memang bersedia mengantarkan kita kepada jaringan internet bebas namun mereka mengambil terlalu banyak, sekali sambung 3000 rupiah, lalu dengan akal-akalan yang agak bodoh sering putus sendiri sehingga kita harus sambung ulang dan itu artinya 3000 rupiah lagi raib dari pulsa kita.
3. Dengan Wi-max ini, kita akan dibuat nyaris seperti berbicara langsung dengan siapapun di muka bumi dengan kecepatan ribuan kali dari GSM, 3G wi-fi. Tidak ada lagi gerak-gerak mulut yang ketinggalan dari real time action-nya. Apa yang dikhayalkan teknologi tele-conference akan menjadi kenyataan sebenarnya.
4. Selain jalur tall telekomunikasi, harganyapun bisa kita buat semurah-murahnya sehingga problema pendidikan seperti: tidak ada ruang belajar, kekurangan guru dan dosen bisa kita retas dengan fasilitas ini. Terbayang oleh saya anak-anak di lereng Rinjani dan Tambora akan berkuliah dengan dosen dari UGM yang bisa mereka lihat langsung melalui HP masing2. Apalagi HP ini dirakit sendiri oleh para lulusan SMK kita dengan komponen murah yang bisa didapat dipasaran bebas Shen Zen, Guangzhou, Dubai atau Batam [lupakan saja Singapore yang kecil itu].
Pertanyaannya:
5. Mampukah PT. GNE? Jawabnya jelas mampu;
6. Maukah PT. GNE, Pemprov NTB dan DPRD NTB? Saya tidak tahu;
7. Beranikah mereka itu? Saya lebih tidak tahu lagi.
Namun,
8. saya akan sangat marah jika kelak usaha penyediaan layanan Wi-max ini jatuh ketangan-tangan yang tidak memiliki tanggung jawab moral untuk membangun NTB.
Mohon tanggapan semua pihak !!!
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Narmada, 21 Rajab 1433H/11 Juni 2012
Endusan para pengusaha futuristic yang haus innovasi menguntungkan mulai menghentak Kemenkominfo, bayangkan saja sebab menkominfo belum merilis aturan yang mengatur penggunaan "jalan tall berkomunikasi itu" baik dalam bentuk peraturan maupun Undang Undang. Namun kerana prosfeknya sudah nyata dan jelas akan mendatangkan uang berlipat-lipat kali dari apa yang dihasilkan usaha Wi-fi, maka bertalu-talulah Genderang perang perebutan tender untuk mendapatkan hak usaha telekomunikasi berbasis wi-max di seluruh wilayah Indonesia.
Singkatnya, bidang usaha yang menyediakan internet-lines ini akan menelan GSM maupun 3G sebagaimana flashdisk menelungkupkan usaha-usaha pita kaset dan VCD maupun [nanti] DVD.
Daerah-daerah gemuk seperti Jabodetabek, Surabaya, Jogja, Medan, Makassar izin prinsipnya sudah berada didalam genggaman perusahaan-perusahaan besar seperti XL, Alcatel, Bakry bahkan telkom sendiri melalui anak perusahaannya telkomsell. Wilayah Bali, jelas telah berada ditangan PUTRA BALI sendiri, Nah kini giliran wilayah NTB. Apa yang harus dilakukan?
Dengan lantang saya ingin berteriak: "Wahai saudara-saudaraku bayangkanlah, kelak jika sen demi sen duit masyarakat NTB akan bagaikan banjir mengalir kedalam kocek para pengusaha dari luar NTB, maka akan seperti apakah nasib pembangunan ekonomi kita? Ritail, bank, asuransi, mall-mall milik luar [sebelum sampai seterusnya] telah menguras lembar demi lembar, keping demi keping uang yang dengan susah payah kita bawa kemari melalui gaji-gaji para TKI, TKW, PNS dan hasil bumi kita, kemudian dengan tanpa kita mau menyadarinya, dengan mudahnya dilahap habis pihak luar yang tentu TIDAK memiliki tanggung jawab moral dan psikologis untuk memberdayakan NTB. Bila perlu mereka bisa tertawa menonton kita sekarat dan mati. CSR? huh...cuma jadi bahan perkelahian saja.
Apa yang mungkin kita lakukan?
Bidang Usaha penyediaan layanan Wi-max ini sangat baru, belum tegas aturannya, tidak terlalu menelan biaya operasinal yang besar, namun memerlukan KEKUASAAN untuk mengcengkeramnya. Kemampuan perusahaan swasta lokal tentu bukan padanan bagi perusahaan2 besar dan kaya dari Luar, Namun jika "Perusahaan Plat MERAH Gerbang NTB Emas" memiliki keberanian dan kreatifitas, maka NTB bisa memiliki perusahaan penyedia layanan Wi-max-nya sendiri. Selain pihak GNE dan Pemprov sebagai pemilik, Legislatif di Udayana juga harus jadi palang pintu membela kepentingan bersama ini agar tak boleh ada yang menghalanginya.
Untuk bisa membayangkan kedahsyatan wi-max ini, kita hanya perlu sedikit mengernyitkan dahi dan hitungan sederhana tanpa kalkulator:
1. Teknologi phonesell yang saat ini sedang pesta pora sekalipun telah menurunkan harga, akan benar-benar menjadi bahan tertawaan dalam 15 tahun mendatang karena mereka telah mengekploitir manusia dengan memaksa membeli HP, kartu, roaming dll. Padahal apa yang diperlukan manusia sekarang adalah "sekedar media pengantar menuju jaringan internet yang jelas sudah gratis sedunia".
2. teknologi phonesell memang bersedia mengantarkan kita kepada jaringan internet bebas namun mereka mengambil terlalu banyak, sekali sambung 3000 rupiah, lalu dengan akal-akalan yang agak bodoh sering putus sendiri sehingga kita harus sambung ulang dan itu artinya 3000 rupiah lagi raib dari pulsa kita.
3. Dengan Wi-max ini, kita akan dibuat nyaris seperti berbicara langsung dengan siapapun di muka bumi dengan kecepatan ribuan kali dari GSM, 3G wi-fi. Tidak ada lagi gerak-gerak mulut yang ketinggalan dari real time action-nya. Apa yang dikhayalkan teknologi tele-conference akan menjadi kenyataan sebenarnya.
4. Selain jalur tall telekomunikasi, harganyapun bisa kita buat semurah-murahnya sehingga problema pendidikan seperti: tidak ada ruang belajar, kekurangan guru dan dosen bisa kita retas dengan fasilitas ini. Terbayang oleh saya anak-anak di lereng Rinjani dan Tambora akan berkuliah dengan dosen dari UGM yang bisa mereka lihat langsung melalui HP masing2. Apalagi HP ini dirakit sendiri oleh para lulusan SMK kita dengan komponen murah yang bisa didapat dipasaran bebas Shen Zen, Guangzhou, Dubai atau Batam [lupakan saja Singapore yang kecil itu].
Pertanyaannya:
5. Mampukah PT. GNE? Jawabnya jelas mampu;
6. Maukah PT. GNE, Pemprov NTB dan DPRD NTB? Saya tidak tahu;
7. Beranikah mereka itu? Saya lebih tidak tahu lagi.
Namun,
8. saya akan sangat marah jika kelak usaha penyediaan layanan Wi-max ini jatuh ketangan-tangan yang tidak memiliki tanggung jawab moral untuk membangun NTB.
Mohon tanggapan semua pihak !!!
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Narmada, 21 Rajab 1433H/11 Juni 2012