[BACA SEJARAH YOOK?!: 8] Sosialisme Indonesia
Sosialisme Indonesia
Suatu malam di tahun 1961. Rahmi Hatta mendekat dengan wajah gusar. Dia
menyerahkan surat pemberitahuan dari Kantor Telepon Bogor, kepada Pak
Hatta.
"Pak Suli menyimpannya sejak dua hari yang lalu"
katanya dan duduk di sebelah Hatta. Hatta melihatnya. Rasa aneh
menjalari pikirannya.
"Ini sudah tidak benar,"ucapnya spontan
karena terkejut, "lihat, jumlahnya. Beberapa kali lipat dari gaji
pension yang saya terima".
Sebuah surat pemberitahuan tentang angsuran jaminan pemasangan telepon. Rahmi bergeming. Dia pun bingung.
"Mengapa jumlahnya bisa sebanyak itu?" tanya Rahmi pelan.
Hatta tidak menyahut. Hatinya terus mempertanyakan keanehan yang tertera pada selembar kertas di tangannya.
Berdua terdiam.
Belum lama mereka mengeluhkan harga-harga kebutuhan yang makin
melambung. Tarif listrik, gas, dan kebutuhan mendasar lainnya. Para
pembantu mengeluhkan hal yang sama. Begitu pula sopir, sekretaris, dan
orang-orang yang mereka temui di berbagai tempat.
Ya sudah,
terserahlah, "katanya pasrah. "Kalau telepon mau dicabut, cabut saja.
Bagaimana mungkin uang jaminan telepon tidak sebanding dengan pendapatan
rakyat?"
Hatta bangkit menuju kamar kerja. Galau yang sangat.
Inikah sosialisme Indonesia? Dia seperti melihat awan tebal menggelayut
di atas negeri ini sejak pidato Soekarno tanggal 17 Agustus 1960
dijadikan Garis-Garis Besar Haluan Negara: Undang-Undang Dasar 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Indonesia.
Bukan bermaksud menyudutkan lemahnya
kebijakan pemerintah, tapi lebih untuk menyandarkan sebuah kebenaran
yang ada. Bahwa semua paham sosialisme di muka bumi ini punya kesamaam
sama-sama menghendaki sebuah pergaulan hidup di mana tidak ada lagi
penindasan dan pengisapan.
Sosialisme hanya dapat hidup di
bawah arahan orang yang memang bersikap hidup sosialis. Orang tersebut
harus meyakini paham sosialisme. Kalau tidak, akan terjadi kesenjangan
antara teori dan praktiknya. Dalam pandangan Hatta, sosialisme di masa
Demokrasi Terpimpin dilakukan tanpa pemahaman teori dan dilaksanakan
tanpa perhitungan. Jalan menuju sosialisme seharusnya mengingat
prioritas. Keperluan hidup yang penting, makanan, pakaian, perumahan,
kesehatan, dan pendidikan harus menjadi prioritas utama.
Hatta
teringat diskusinya, ketika remaja dulu, tentang Sosialisme Islam
dengan H. Agus Salim. Jiwa Islam menolak kapitalisme yang mengisap dan
menindas, yang menurunkan derajat manusia serta membawa sistem yang
lebih jahat daripada perbudakan, bahkan melebihi feodalisme. Karena
itulah paham ini bertolak jauh dari paham Marx.
Tidak pelak
lagi, bicara sosialisme berarti mempersoalkan hajat hidup orang banyak,
soal rakyat. Dan aku adalah bagian dari rakyat. Hatta kecewa.
Negeri yang dulu dia perjuangkan kemerdekaannya, kini bak wahana sirkus
diktator lapar yang siap menindas kaum lemah. Ke mana perginya janji
kemerdekaan dulu, jika kebijakan-kebijakan istana tidaklagi mengindahkan
keadilan dan kewajaran di negerinya sendiri?
Saat radio di
rumahnya rusak dan diperbaiki oleh petugas Ralin, Hatta ingat sekali
harus membayar upah kerja Rp 75O, - ditambah pajak sepuluh persen
sebesar Rp75, -. Bukan soal jumlah yang dikeluhkannya. Pajak itu adalah
pajak atas buruh dan itu artinya "mengisap buruh". Lain halnya jika
jumlah sepuluh persen tersebut merupakan tambahan upah bagi pekerja yang
bersangkutan.
Jika seperti itu, negeri sosialis yang
dikumandangkan pemerintah dan tokoh-tokoh Demokrasi Terpimpin tak
ubahnya sebuah "sistem eksploitasi kapitalisme dengan jalan mengisap
kelebihan nilai dari tenaga buruh". Mendung bergelayut.
Istana
dan para pendukung konsepsi Soekarno menuduh Hatta telah
menyalahgunakan emas Fonds Kemerdekaan di masa revolusi. Baginya,
menanggapi segala tuduhan tanpa bukti yang kuat sama dengan menampar
angin di udara. Sia-sia.
Sumanang selaku Ketua Fonds
Kemerdekaan memberikan pernyataan bahwa Fonds tersebut turut hijrah ke
Yogyakarta saat pemerintah pusat pindah ke kota itu pada permulaan 1946.
Benda-benda itu telah didaftar, termasuk juga oleh Bank Negara.
Sebagian dipakai untuk pembelian Gedung Proklamasi di Pegangsaan Timur
56, membantu perang gerilya dan subversi terhadap Belanda di Jogja. Ada
pula yang disita Belanda setelah Agresi Militer kedua.
Jelas
bahwa tuduhan kalangan sayap kiri itu tidak berdasar. Fitnah belaka.
Inikah Kepribadian Indonesia? Hal ini pula yang Hatta pertanyakan iewat
surat kepada Menteri Luar Negeri Subandrio, di awal Juni 1962. Saat itu,
Departemen Luar Negeri menahan paspor dan menghalangi Hatta menghadiri
Conference on Economic Cooperation and Partnership, sebuah kerja sama
ekonomi negeri-negeri non-komunis yang disponsori oleh Theodor
Kornerstiftung Fonds.
Hatta sangat kecewa dengan perlakuan
itu. Yang lebih mengesalkan adalah datangnya surat ucapan terima kasih
dari panitia konferensi kepada Subandrio yang telah memungkinkan dirinya
hadir dalam pertemuan di Wina tersebut.
"Permainan" yang
dilakukan orangorang dalam pemerintahan, demikian Hatta menilai kejadian
ini. Hatta melangkah ke lantai dua, perpustakaannya. Dari banyak hal,
bukulah penghiburan bagi dirinya. Melihat buku-buku yang dulu dibeli
saat inflasi di Hamburg, Jerman, dia teringat satu kisah. Kisah sepotong
jas, di tahun 1922.
Usia Hatta baru dua puluh tahun. Itulah
tahun kedua dia terpisah ribuan mil dari kampung halaman. Kala itu, dia
tengah liburan ke Hamburg usai ujian sekolah dan tinggal di sebuah
penginapan murah milik Nyonya Jachnik.
Satu hari seorang penjahit, yang juga menetap di situ, menjumpainya.
"Tuanlah orang Indonesia yang pernah tinggal di rumah ini, yang belum
pernah memesan pakaian padaku, " katanya sambil memperhatikan Hatta.
Hatta hanya bisa tersenyum ramah.
"Dahulu, Tuan Mukiman dan
Tuan Kusumaatmaja tinggal di sini dan memesan pakaian padaku. Cobalah
Tuan pesan, dua atau setidaknya satu pasang" Katanya lagi dengan lirih,
" Pesanan Tuan akan menolong usahaku"
Hatta tidak sampai hati. Tapi dia juga sadar, dirinya tidak memiliki uang berlebih. Sebagai mahasiswa, dia harus berhemat.
"Maaf Tuan, aku tak punya cukup uang untuk memesan pakaian, "jawabnya
jujur, "Pakaian yang sekarang kukenakan saja, pakaian lama yang
kuperbaiki di negeriku. "
"Aku mengerti, " kata si penjahit.
Tapi tetap saja dia memaksa. "Tidak perlu Tuan bayar sekarang. Tuan bisa
membayarnya nanti saat Tuan kembali ke negeri Belanda"
Hatta agak heran dengan penjahit ini.
"Aku percaya orang Indonesia, bangsa Tuan, adalah orang yang jujur. Ini
sudah dibuktikan oleh Tuan Mukiman dan Tuan Kusumaatmaja. "
"Bagaimana?"
Hatta melihat jas yang dikenakannya. Memang sudah agak lusuh. Tak
apalah, aku memesannya satu dari penjahit ini, pikirnya. Dipilihnya
warna biru tua dengan kesepakatan harga dalam kurs Jerman, R. M. 37.
000, -atau sama dengan f 33, -nilai gulden.
Beberapa bulan
berselang ketika dia kembali ke Belanda, Hatta teringat harus membayar
penjahit tersebut. Kala itu, kurs Jerman merosot tajam seiring inflasi
besar-besaran yang melanda. Satu gulden kira-kira seharga dengan R. M.
5. 000, -. Artinya harga jas tersebut merosot ke kisaran f 8, -. Namun
Hatta tetap menukarkan f 20, -yang menjadi R. M. 100. 000, -dan
dikirimkan semua kepada si penjahit.
Seminggu kemudian, dia
menerima surat dari si penjahit yang isinya memuji dirinya dan
menyanjung kebaikan serta kemurahhatian bangsa Indonesia.
Kisah itu sudah lampau berlalu. Sebelum orang-orang berkoar tentang
perlunya kepribadian bagi Indonesia, Hatta telah mengukir cerita
keluhuran pribadi sebuah bangsa, yang dirasakan oleh warga bangsa lain.
***
DARI BUKU: KARYA SERGIUS SUTANTO
"HATTA: AKU DATANG KARENA SEJARAH"
{Belilah Buku Asli}
Cetakan I, September 2013
Diterbitknn oleh Penerbit Qanita, PT Mizan Pustaka
Jin. Cinambo No. 135 (Ctearanten Wetan), Ujungberung, Bandung
e-mailiqanita@mizan. com
milis: qanita@yahoogroups. com