[BACA SEJARAH YOOK?1: 9] Bendera Setengah Tiang di Belanda
Bendera Setengah Tiang di Belanda
“ Negeri ini sepantasnya mengibarkan bendera setengah tiang. "
Sehari setelah penangkapan, seorang pengacara Belanda datang menemui
Hatta di sel. Mr. Duys namanya. Menurutnya, penahanan Hatta ini telah
mencoreng kewibawaan dan hukum Negeri Belanda. Dia dan Mr. Mobach
bersedia membela secara gratis.
Alhamdulillah. Tapi, "Apa Tuan sudah tahu pasal aku ditahan?" Tanya Hatta.
Mr. Duys menyeringai, "Tentu. "
Dia turunkan kakinya yang di awal duduk disilangkan.
"Ada tiga tuduhan yang dijatuhkan pada Tuan: menjadi anggota
perhimpunan terlarang, terlibat dalam pemberontakan, dan penghasutan
untuk menentang Kerajaan Belanda. "
Hatta cuma tersenyum
mendengarnya. Dia memang sudah mempelajari. Tapi tanpa kopi pekat panas,
malas rasanya mendengarkan segala fitnah itu. Tapi sudahlah.
Bagaimanapun, orang ini hadir membawa harap. Mr. Duys adalah tamu. Tamu
pertama dan mungkin akan menjadi satu-satunya tamu yang berani datang ke
sel ini.
"Ada tiga rekan Tuan yang juga ditahan dengan
tuduhan yang sama, Tuan Nazir Pamontjak, Tuan Ali Sastroamidjojo, dan
Tuan Abdul Madjid Djojoadiningrat.
“Sebenarnya masih ada tiga
orang lagi, " kata Mr. Duys, "tapi karena mereka sedang di luar negeri,
otomatis tidak dapat ditahan. "
Mr. Duys melirik ke arah Hatta, "Tuan Achmad Soebardjo, Tuan Gatot Tarumihardjo, dan Tuan Arnold Manuhutu. " lnforman andal.
"Ya, mereka memang sedang di luar negeri untuk keperluan propaganda
bagi kemerdekaan tanah air kami. " Hatta tertawa dalam hati. Mereka
lebih beruntung. Harusnya aku mendengarkan nasihat mereka untuk tidak
pulang dulu ke negeri ini lepas menghadiri Kongres Liga Wanita
Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan dua minggu lalu. Tapi
semua telah terjadi.
"Kami yakin, Tuan-Tuan tidak bersalah. Karena itu, izinkan saya dan beberapa teman menjadi pembela Anda semua.
“Bisa dipercaya?” Sontak Hatta berpikir demikian. Reputasi bangsa kulit
putih telah kesohor dengan ingkar janjinya. Mulai dari sejarah "Plakat
Panjang" yang berkedok sahabat di bumi Minangkabau tapi ternyata
melahirkan Perang Padri, hingga 'November Belofte yang sempat berembus
saat usianya enam belas di tahun 1918.
Tapi Mr. Duys adalah
kenalannya, walau belum terlalu akrab. Dia anggota parlemen Belanda dari
Partai Sosial De-. mokrat Buruh (SDAP, Social Democratische Arbeiders
Party).
Hatta mengenalnya semenjak aktif mengikuti beberapa
kongres internasional, termasuk Kongres Menentang Imperialisme dan
Penindasan Kolonial di Brussel. Pasti Mr. Duys punya pertimbangan khusus
dengan tawarannya ini. Dia menjabatku hangat tadi. Persoalannya, andai
aku sendiri menyambut uluran tangan Mr. Duys, apa itu namanyal
Cooperation? Kerja sama? Terjadi perang di batin Hatta.
Tidak!
Demi Allah, aku akan tetap di jalur non-cooperation. Apa kata
teman-teman pergerakan di Hindia-Belanda nanti. Sejarah buyut dan nenek
moyang adalah sejarah yang berdarah-darah. Sejarah ini, sejarah luka.
Lantas?
Lama juga dia bermain dengan pikirannya sendiri. Mr.
Duys seperti merasakan kegundahan Hatta. Dia melempar senyum, dan
spontan Hatta menemukan jawabnya. Senyum itu memberikan inspirasi. Itu
pasti karena pertemanan dan kemanusiaan. Kemanusiaan tidak perlu
diajarkan. Dia lahir karena simpati dan kesadaran: bahwa kebenaran harus
selalu diperjuangkan. Dan pertemanan, selamanya harus dipandang secara
positif.
Karena itu, "Baiklah. " Mr. Duys menyeringai senang, "Terima kasih saya ucap-
kan sebelumnya atas perkenan Tuan. "
"Sayalah yang harus mengucapkan demikian. Anda sudah bersedia menolong saya. "
Lagi-lagi Mr. Duys tersenyum. Tulus, terasa. Sebagai politikus dan
pengacara andal, Mr. Duys sangat paham, pesakitan harus sering-sering
disiram dengan senyum lebar untuk menyemangati hidupnya.
Sesaat sebelum Mr. Duys pamit, Hatta sempat melirik sipir penjara yang
masih berdiri kaku di samping pintu sel. Dia berbisik pelan ke telinga
Mr. Duys, "Kalau Tuan tidak keberatan, bisakah kiranya saya dikirimi
beberapa buku mengenai hukum konstitusi dan ilmu politik?"
"Buku apakah itu?" tanya Mr. Duys hati-hati.
"Terutama buku-buku Kranenburg dan Krabbe, dan satu set lengkap majalah
Indonesia Merdeka, jika mungkin, guna membantu menyusun pembelaanku?"
"Baik, akan kuusahakan, "ujar Mr. Duys sembari merangkul bahu Hatta.
Dari balik jeruji, dilihatnya Mr. Duys melambai sambil tersenyum kecil.
Tubuhnya tinggi semampai dengan rambut putih keperakan. Dia mirip actor
di "Opera
Hirsch" yang biasa ditonton saban Jumat sore di kota ini, kata Hatta dalam hati.
Goede Morgen, Mr. Duys. Ya, itu adalah hari keduanya berada di sel penjara. Ruang kotak yang masih terlalu asing baginya.
Kesunyian yang aneh. Kenapa aku di sini? Hatta masih saja sibuk
bertanya sendiri. Sekeliling mata memandang, hanya tembok kusam.
Selebihnya sepotong kasur, meja tua, dan kursi yang pernah diduduki Mr.
Duys.
Setangkup roti dan susu encer di pagi hari, serta
Kutspot yang merupakan campuran kentang, sayuran, dan seiris daging di
siang hari tidak banyak memberikan energi untuknya.
Ya, Tuhan,
ke manakah orangorang Belanda ini menyembunyikan kopi hitam? Aku tak
bertenaga. Angin dingin berembus dari celah jeruji. Desirnya terdengar
bak alun saluang Bukittinggi nan jauh di mato Betapa kurindu [].
****
DARI BUKU:
Tafsir Memoar, Catatan, Surat-Surat, dan Kisah Hidup Bung Hatta
SERGIUS SUTANTO.
HATTA: AKU DATANG KARENA SEJARAH
Penyunting: AgusHadiyono
Proofreader: M. Eka Mustamar
Cetakan I, September 2013
Diterbitknn oleh Penerbit Qanita
PT Mizan Pustaka