[Langkah Strategis Membangun NTB]
Bismillahirrahmanirrahim
Assaalamu'alaikum Wr. Wb.
Dari berbagai ensiklopedi, tidak saya temukan penjelasan bahwa jahil adalah padanan kata "bodoh". Ketika kaum Quraisy digelari kaum Jahiliah, pada saat itu juga catatan sejarah menceritakan betapa daya nalar mereka sungguh mengagumkan. Dikisahkan seorang penyair bernama Qus ibnu Saidah al-Ayyadi mampu menghafal semua bait syair yang pernah didengarnya, sehingga tak mungkin seseorang menjiplak sepotong syair kecuali Qus mampu menjelaskan bahwa potongan itu pernah diucapkan oleh si ini, di sini dst. Abu Jahal yang semula bernama Abdul Hakam adalah seorang bangsawan yang sangat cerdas, namun tak pelak julukan Bapaknya kejahilan dilekatkan juga padanya. Mengapa?
Singkat kalimat, kejahilan sebenarnya terkait dengan tindakan seseorang yang sangat jauh dari kepatutan. Patut, jika ditimbang dari kebenaran hakiki serta situasi dan kondisi yang meliputinya. Nah dari sinilah saya ingin memasuki sebuah topik yang sebenarnya telah menjadikan kita sekelompok masyarakat yang "sedikit banyak" memiliki kelayakan untuk dikatakan "telah bertindak jahil". Apa itu?
Seorang kawan ahli obat herbal [kemarin sempat ikut pameran di Kota Mataram] menjelaskan bahwa salah satu produknya yang telah menembus manca negara sampai Amerika dan China sekalipun. Produk itu bermerek "Proceng Extra". Ini obat kuat yang konon mengalahkan keampuhan viagra. Ternyata produk ini adalah asli Sumbawa. Karena produsennya tak mampu mengurus hak paten dan tidak juga kuasa membuat pabriknya secara besar-besaran, mungkin juga perbankan kita berkedok tuli, maka produsennya menyerahkan kepada kawan kita itu tadi di Jogja untuk memproduknya dan memberinya merk. Bukankah kita telah berbuat jahil namanya itu?
Seorang kawan lagi dari Swiss menceritakan bahwa Pabrik Coklat Catburry sungguh sangat tergantung dengan coklat hasil asli tanah Lombok, karena kemampuannya mencegah 'beku yang kaku' atau 'encer yang mencair' dalam segala cuaca sehingga coklat asli Lombok harus ada dalam campuran produk Catburry. Nah mengapa bukan kita yang mengexsport serbuk kakao kita? Malah saya lihat pengusaha dari Bali-lah yang langsung memetik sendiri dari pohonnya di kampung-kampung kita di Gondang sana. Saya pernah mendatangi lokasi tersebut dan mendapat berita bahwa para pengusaha dari Bali, selain tekun dan telaten, tapi juga membawa modal yang cukup untuk membayar dahulu kakao masyarakat semenjak masih dalam bentuk motek-moteknya. Saya kira membarkan kejadian semacam ini terus menerus terjadi, juga pantas dikatakan jahil.
Dua tahun yang lalu, seorang siswi SMP di Masbagek berhasil menemukan sepatu charger yang akhirnya disamber oleh pabrikan luar negeri untuk mempatenkan dan memproduksinya. Mungkin ada yang mau mengatakan bahwa hal itu karena mereka 'orang kecil'. Ah menurut saya tidak demikian. Pernah Doktor kita [Alm. Dr. Parman] menemukan spora pembuat gubal pada pohon Gaharu, namun sampai saat ini tidak bisa mendapatkan paten apalagi diproduksi massal. Akhirnya jutaan pohon2 gaharu yang kita tanam tak bia kita suntik dengan spora sintetik yang hanya sampai ditemukan saja, namun tak kunjung dipatenkan dan diproduksi massal. Semoga sekarang kita sepakat bahwa memang kita telah banyak bertindak jahil.
Seminggu yang lalu, dalam sebuah seminar, saya menonton tayangan yang membelalakkan mata, opo tumon? Ternyata masyarakat NTB dari ampenan Sampai Sape telah banyak sekali mengeluarkan produk-produk dengan bahan baku lokal. Mulai dari berbagai camilan, jus-jus buah, dan aneka macam bentuk dan jenis, .... hah namun ... mobil-mobil kampas milik mall-mal, super market, departemen store menjelajah dusun dan kampung2 membawa dagangan produk pabrik yang sama sekali tak memuat secuil bahan baku lokal NTB.
Sungguh, saya tidak setuju bahwa otonomi daerah dimaknai dengan pejabat berasal dari luar NTB tidak boleh menjabat di sini, sebab untuk hal itu sudah ada aturan bakunya, dan tidak kecil kemungkinannya bahwa anak negeri ini memang belum mampu mengisi posisi itu dengan sebaik-baiknya. Tapi jika di bumi ini kita membeli dan memakan camilan singkong, pisang sale, krupuk udang, kripik tahu dan tempe dlsb . . . bahan bakunya dari luar, maka inilah kejahilan.
Saya juga heran toko-toko, warung-warung, restoran-restoran yang pemiliknya dari Malang rak-raknya penuh dengan camilan produksi Malang, Milik orang Semarang penuh dengan camilan produksi Semarang demikian seterusnya. Kata kereka untuk membantu daerah asal mereka. Heeemmm . . . . ya sudah itu hak mereka tapi ... ya tapi... apakah daerah ini tidak berhak dibantu? Agar bumi tempat kita bersama-sama makan, minum, bernafas dan bergaul ini tidak hanya bisa "gaok kantong" tapi juga bisa menabung?
Kalaulah tidak ada seorangpun hartwan asal Lombok ini yang mampu membuat mall, membangun armada truk kampas .... mengapa kita tidak membuat Kamar Dagang Produk dengan bahan baku Lokal? Atau setidak grosir yang berkonsentrasi mensuplay barang-barang produk lokal untuk diecer di retail-retail atau kios-kios yang bertaburan disekujur desa, dusun sampai repok-repok?
Saya haqqul yakin, kejahilan penduduk NTB semacam ini, tidak boleh terus menerus terjadi. Ini harus dihentikan dan untuk itu kita SUDAH MEMILIKI TERLALU BANYAK MANUSIA-MANUSIA PANATIK KEDAERAHAN DAN PINTAR LUAR BIASA UNTUK DIAJAK URUN REMBUG.
Mari sahabat...terhormat .... KITA DISKUSIKAN!
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Assaalamu'alaikum Wr. Wb.
Dari berbagai ensiklopedi, tidak saya temukan penjelasan bahwa jahil adalah padanan kata "bodoh". Ketika kaum Quraisy digelari kaum Jahiliah, pada saat itu juga catatan sejarah menceritakan betapa daya nalar mereka sungguh mengagumkan. Dikisahkan seorang penyair bernama Qus ibnu Saidah al-Ayyadi mampu menghafal semua bait syair yang pernah didengarnya, sehingga tak mungkin seseorang menjiplak sepotong syair kecuali Qus mampu menjelaskan bahwa potongan itu pernah diucapkan oleh si ini, di sini dst. Abu Jahal yang semula bernama Abdul Hakam adalah seorang bangsawan yang sangat cerdas, namun tak pelak julukan Bapaknya kejahilan dilekatkan juga padanya. Mengapa?
Singkat kalimat, kejahilan sebenarnya terkait dengan tindakan seseorang yang sangat jauh dari kepatutan. Patut, jika ditimbang dari kebenaran hakiki serta situasi dan kondisi yang meliputinya. Nah dari sinilah saya ingin memasuki sebuah topik yang sebenarnya telah menjadikan kita sekelompok masyarakat yang "sedikit banyak" memiliki kelayakan untuk dikatakan "telah bertindak jahil". Apa itu?
Seorang kawan ahli obat herbal [kemarin sempat ikut pameran di Kota Mataram] menjelaskan bahwa salah satu produknya yang telah menembus manca negara sampai Amerika dan China sekalipun. Produk itu bermerek "Proceng Extra". Ini obat kuat yang konon mengalahkan keampuhan viagra. Ternyata produk ini adalah asli Sumbawa. Karena produsennya tak mampu mengurus hak paten dan tidak juga kuasa membuat pabriknya secara besar-besaran, mungkin juga perbankan kita berkedok tuli, maka produsennya menyerahkan kepada kawan kita itu tadi di Jogja untuk memproduknya dan memberinya merk. Bukankah kita telah berbuat jahil namanya itu?
Seorang kawan lagi dari Swiss menceritakan bahwa Pabrik Coklat Catburry sungguh sangat tergantung dengan coklat hasil asli tanah Lombok, karena kemampuannya mencegah 'beku yang kaku' atau 'encer yang mencair' dalam segala cuaca sehingga coklat asli Lombok harus ada dalam campuran produk Catburry. Nah mengapa bukan kita yang mengexsport serbuk kakao kita? Malah saya lihat pengusaha dari Bali-lah yang langsung memetik sendiri dari pohonnya di kampung-kampung kita di Gondang sana. Saya pernah mendatangi lokasi tersebut dan mendapat berita bahwa para pengusaha dari Bali, selain tekun dan telaten, tapi juga membawa modal yang cukup untuk membayar dahulu kakao masyarakat semenjak masih dalam bentuk motek-moteknya. Saya kira membarkan kejadian semacam ini terus menerus terjadi, juga pantas dikatakan jahil.
Dua tahun yang lalu, seorang siswi SMP di Masbagek berhasil menemukan sepatu charger yang akhirnya disamber oleh pabrikan luar negeri untuk mempatenkan dan memproduksinya. Mungkin ada yang mau mengatakan bahwa hal itu karena mereka 'orang kecil'. Ah menurut saya tidak demikian. Pernah Doktor kita [Alm. Dr. Parman] menemukan spora pembuat gubal pada pohon Gaharu, namun sampai saat ini tidak bisa mendapatkan paten apalagi diproduksi massal. Akhirnya jutaan pohon2 gaharu yang kita tanam tak bia kita suntik dengan spora sintetik yang hanya sampai ditemukan saja, namun tak kunjung dipatenkan dan diproduksi massal. Semoga sekarang kita sepakat bahwa memang kita telah banyak bertindak jahil.
Seminggu yang lalu, dalam sebuah seminar, saya menonton tayangan yang membelalakkan mata, opo tumon? Ternyata masyarakat NTB dari ampenan Sampai Sape telah banyak sekali mengeluarkan produk-produk dengan bahan baku lokal. Mulai dari berbagai camilan, jus-jus buah, dan aneka macam bentuk dan jenis, .... hah namun ... mobil-mobil kampas milik mall-mal, super market, departemen store menjelajah dusun dan kampung2 membawa dagangan produk pabrik yang sama sekali tak memuat secuil bahan baku lokal NTB.
Sungguh, saya tidak setuju bahwa otonomi daerah dimaknai dengan pejabat berasal dari luar NTB tidak boleh menjabat di sini, sebab untuk hal itu sudah ada aturan bakunya, dan tidak kecil kemungkinannya bahwa anak negeri ini memang belum mampu mengisi posisi itu dengan sebaik-baiknya. Tapi jika di bumi ini kita membeli dan memakan camilan singkong, pisang sale, krupuk udang, kripik tahu dan tempe dlsb . . . bahan bakunya dari luar, maka inilah kejahilan.
Saya juga heran toko-toko, warung-warung, restoran-restoran yang pemiliknya dari Malang rak-raknya penuh dengan camilan produksi Malang, Milik orang Semarang penuh dengan camilan produksi Semarang demikian seterusnya. Kata kereka untuk membantu daerah asal mereka. Heeemmm . . . . ya sudah itu hak mereka tapi ... ya tapi... apakah daerah ini tidak berhak dibantu? Agar bumi tempat kita bersama-sama makan, minum, bernafas dan bergaul ini tidak hanya bisa "gaok kantong" tapi juga bisa menabung?
Kalaulah tidak ada seorangpun hartwan asal Lombok ini yang mampu membuat mall, membangun armada truk kampas .... mengapa kita tidak membuat Kamar Dagang Produk dengan bahan baku Lokal? Atau setidak grosir yang berkonsentrasi mensuplay barang-barang produk lokal untuk diecer di retail-retail atau kios-kios yang bertaburan disekujur desa, dusun sampai repok-repok?
Saya haqqul yakin, kejahilan penduduk NTB semacam ini, tidak boleh terus menerus terjadi. Ini harus dihentikan dan untuk itu kita SUDAH MEMILIKI TERLALU BANYAK MANUSIA-MANUSIA PANATIK KEDAERAHAN DAN PINTAR LUAR BIASA UNTUK DIAJAK URUN REMBUG.
Mari sahabat...terhormat .... KITA DISKUSIKAN!
Wassalamu'alaikum Wr. Wb