BELUM SAMPAI TAPI KELEWATAN

[Generasi Manual VS Generasi Internet]

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu'alaikum Wr. Wb....

Jika kwalifikasi berikut ini bertumpuk dalam kehidupan anda maka itulah syurga dunia [kira-kira saja]: Sehat wal afiat, cantik, ganteng, kaya raya, berakhlaq baik, pintar, banyak teman dan meredeka zahir bathin. Saya tidak akan bertanya "apakah anda mau mendapatkan semua itu?" karena jawabannya sudah diketahui.

Yang saya tanyakan adalah: "mampukah kita menanggung resikonya, jika kita sudah mendapatkan semua itu?". Seorang pujangga mengatakan Sesungguhnya masa muda, kebebasan dan kekayaan adalah gerbang-gerbang kerusakan yang utama. Ternyata tarap gemah ripah loh jinawi itu cuma sekedar level paling rendah dari idealitas yang diimpikan manusia, setelah itu mereka akan lebih merindukan level lebih tinggi dan tentunya akan lebih sulit dan rumit. Sebuah gunung emas hanya akan melahirkan keinginan untuk mendapatkan gunung emas yang lainnya. Begitu Sabda Rasulullah.

Saya coba seruputkan dua cuplikan sejarah dari dua zaman yang berbeda sekaligus dua peradaban yang kontras. Satu tentang Abu Syuja dan yang kedua tentang Elizabeth Gilbert.

Abu Syuja dilahirkan di Bashrah 433 H/1042 M dan wafat Di Madinah 593 H/1166 M. Beliau diriwayatkan memiliki postur kuat, sangat tampan, berilmu dan sangat bijaksana sehingga diangkat menjadi menteri, kadi dan bendahara pada dinasti bani Saljuk tahun 447H/1455M. Kehebatannya tercermin pada juklukan yang beliau terima "Syihabuddunya waddin (bintang dunia dan agama)". Tak pernah keluar rumah sebelum shalat sunnah dan membaca al-Qur’an sedapat mungkin. Sebelum matahari tenggelam sedekahnya untuk hari itu sudah harus terbagi kepada para miskin dan papa. Kisah akhir dari hidup beliau adalah sebuah keputusan heroik yaitu menyedekahkan semua hartanya dan sisanya dibawa serta bersama keluarganya ke Madinah Al-Munawwarah untuk menikmati pengabdian menjadi tukang bersih-bersih di Masjid Nabawy. saat itu beliau berusia 48 tahun dan meninggal pada usia 160-an tahun dalam keadaan tubuh masih segar bugar, tak satu gigipun rontok dan tak seurat rambutpun beruban. Jangan dilupakan karya menumental beliau yang mengisi setiap khazanah perpustakaan kaum muslimin sampai saat ini, sebuah kitab fikih Al-Ghayatu wa At-Taqriib. Yang kalau diterjemahkan judul kitab ini menjadi tujuan akhir dan cara menggapainya.

Kini mari kita lihat siapa Elizabeth Gilbert. Dia lahir di Waterbury , Connecticut 18 Juli 1969, ia menjelma menjadi sosok yang bisa mewakili tipologi manusia modern paling diidamkan di Barat: Cantik, pintar, kaya, tersohor, bebas merdeka dan punya rumah, suami, anak-anak dan tabungan berlimpah. Seperti halnya Abu Syuja, Elizabeth juga akhirnya menghadapi kulminasi kehidupan level paling bawah, untuk itu dia harus mengambil keputusan radikal untuk menjalani hidup level selanjutnya.

Bukunya Eat, pray and Love adalah sepenuhnya tempat dia menceritakan bagaimana dia menjalani level kedua kehidupannya. Buku itupun menjadi best seller. Gilbert tentu saja bisa mewakili kebanyakan situasi pesohor Amerika. inilah beberapa resep menghadapi kemakmuran level dua darinya:

1. Saat bangun di pagi hari ucapkan pada diri sendiri “What you really-really-really wants? Kenapa harus bertanya sampai 3 kali ? Karena anda harus mempersoalkan keinginan anda agar tidak menjadi budak diri sendiri;

2. Setiap Minggu tuliskanlah hal-hal apa saja yang membuat kita merasa bahagia dalam menjalani kehidupan ini. hanya mereka yang merasakan kebahagiaanlah yang bisa bersyukur dan berterima kasih;

3. Ubahlah kata-kata negatif yang sering diucapkan seperti “I’m a looser”, “I cant’t do it”, “Aku tak berhak mendapat yang terbaik” dan sebagainya, dengan kata-kata positif yang membangkitkan semangat. Kehidupan yang kehilangan semangat adalah mati sebelum waktunya.

Berbeda jauh dengan Abu Syuja yang menganggap level pertama adalah duniawi dan level selanjutnya adalah ukhrawi. Untuk itulah beliau meninggalkan warisan berupa kitab yang menunjukkan dengan ringkas dan padat bagaimana cara melaksanakan ajaran agama dengan baik dan benar agar tidak hanya menjadi hiasan mulut tetapi menghiasi kehidupan kita sepenuhnya.

Versi Elizabeth atau Abu Syuja bisa diacu oleh mereka yang sudah mencapai level pertama kehidupan menuju level berikutnya yang lebih ideal lagi. Satu catatan saja yang perlu dicermati bahwa Elizabeth nampaknya masih hendak berkutat di dunia materi karena pemantik keputusannya adalah rumah tangganya yang berantakan, mungkin saja dia ingin menyempurnakannya.

Di akhir tulisan ini saya kembali ketitik awal, judul tulisan kita "Belum sampai tapi kelewatan" untuk mendudukkan secara proporsional dimana kita, bangsa Indonesia berada saat ini. Inilah yang menurut saya tidak pernah kita persoalkan sehingga gaya hidup yang kita perlihatkan sekarang ini prosfeknya sama sekali tidak menjanjikan. Ideal-ideal level pertama belum kita peroleh namun "berlagak keren" mengikuti gemuruh Masyarakat Barat yang sudah memiliki semua prasyarat (baca: modal) untuk meraih keinginan level berikutnya. Mereka hura-hura kita ikut, mereka bermalasan kita juga ikut. Seolah ikut mereka adalah rukun iman yang ketujuh bagi kita. Ini kesalahan fatal.

Kecerdikan memilih jalan yang diwakili oleh Abu Syuja sebagai generasi pendidikan berbasis manual and deep reading, bisa dicombinasikan dengan kecerdikan pendidikan berbasis digital seperti yang ditampilkan Gilber yang cenderung membaca loncat sana loncat sini. Konon menurut Henry Jenkins, Direktur Comparative Media Studies Program di Massachusetts Insitute of Technology, bahwa imersi digital, sekalipun loncat-loncat bisa juga mendorong sebuah bentuk kecerdasan baru bagi generasi net. Jadi bacaan yang bersumber dari tukar menukar status Facebook rupanya punya nilai positif juga.

Kini tinggal satu problem yaitu "tidak suka membaca". Kalau ini belum saya temukan obatnya dan saya tidak optimis manusia dapat mengobatinya kecuali ya ... dengan M-E-M-B-A-C-A.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Narmada, 12 Nopember 2013