[Appresiasi Utk Kongres PGRI XXI, 2013, Jakarta]
Bismillahirrahanirrahim
Assalamu'alaikum Wr. Wb
Ketika diumumkan, Processor Tianhe-1, dengan PFlop [Puncak kecepatan] 2.507 oleh Pusat Nasional untuk Super computing, Cina pada Jumat, 30 - 10 - 2009, dunia terhenyak. kaget; Kini, Versi Tianhe-2 aias Milky Way-2 sudah muncul lagi dengan Puncak Kecepatan 30,7 petaflops. Lebih 10 kali lipat.
Dengan kemampuan komputer seperti itu para hacker/serdadu China dapat meretas semua alutsista canggih semacam pesawat AWACS, Stealth sampai Super Submarine lalu memerintahkannya untuk menembak sasaran sesuka hati meraka; Atau mereka dapat membobol semua rekening berfasilitas on-line sehingga menjadi manusia terkaya didunia tanpa lelah-lelah.
Ujung dari penemuan-penemuan raksasa semacam ini adalah munculnya KETAKUTAN massal yang berjuta kali lipat ketimbang kasak kusuk gerombolan perakit bom ecek-ecek berbahan C-4 yang teramat sulit didapatkan. Ketakutan tersebut lalu akan memacu persaingan sengit namun saling memfasilitasi seperti proses pembunuhan kuman penyakit dengan antiseptic yang selalu saja melahirkan generasi penyakit yang lebih mematikan.
Sebuah persaingan akan sangat bermanfaat ketika terjadi perimbangan, namun ketika disparitas antara kemampuan mereka yang dikejar dengan kemampuan mereka yang mengejar terlalu jauh, maka cara-cara tidak lazim dan melompati aturan akan menjadi pilihan yang dianggap wajib. Dari pada mati konyol, begitu kira-kita assumsinya. Ketakutan Hubbermars telah terbukti, kecepatan teknologi yang tidak setara dengan kecepatan akselerasi alamiah manusia akan melahirkan para penipu.
Suasana seperti diatas itu, juga dengan presisi yang sangat tinggi telah digambarkan oleh J.K. Rowling [Penulis Serial Harry Potter] ketika dia mengajak kita berselancar dalam dunia fiksinya "Asrama Hogwarts". Itulah sebuah pusat asrama yang digunakan para murid di sekolah sihir sebagai tempat tinggal dan mempersiapkan proses saling mengalahkan sekaligus saling memusnahkan diantara mereka. Disana berlaku sebuah etika paling dilarang namun paling sering digunakan yaitu " mengakali aturan". Konon, Kompetisi dan rivalitas yang paling sengit adalah antara Asrama Gryffindor dan Slytherin. Persis kayak rivalitas sekolah negeri dengan sekolah swasta di negeri kita ini.
Berbeda dengan sikon di atas adalah Nuansa Patriotisme dan taat aturan yang tersaji di dalam buku2 sejarah yang bisa kita runut mundur dari masa-masa sebelum revolusi industri sampai jauh kebelakang di Zaman pra sejarah. Mereka bertempur dengan penuh kejujuran dan tetap menghormati aturan main, sekalipun aturan itu tidak tertulis hitam di atas putih.
Ahli sejarah seperti Steven Saylor [Buku Roma An Epic Story], John Freely [Istanbul: The Imperial City] dan David Levering Lewis [The Greatness Of Andalus] memberi tahu kita bahwa para nenek moyang kita itu selalu mendirikan dan memperhatikan dengan sungguh2 sebuah lembaga terpenting yang mereka beri nama STRATEGION atau dengan Istilah Arab MU'ASKAR. Di sanalah para anak bangsa mendapatkan pengajaran, pendidikan dan pelatihan sampai benar2 mantap menguasai strategi, Taktik dan Kiat2 untuk membela martabat, kehormatan dan kejayaan bangsa. Sebuah kode etik paling keras yang berlaku adalah "khianat berarti mati".
Jika kita merenungi hal ini, sepertinya lembaga-lembaga pendidikan kita, kelihatan lebih mirip dengan Asrama Hogwarts. Anak2 tidak diajarkan pengetahuan bela negara, tidak dididik dan dilatih bekerja keras, tidak pula diberikan wawasan berupa World View Indonesia sebagai bangsa Timur yang adil dan beradab. Lembaga pendidikan kita memfasilitasi pertandingan menjadi pemenang tanpa diajari untuk apa mereka harus menang dan bagaimana cara memenangkan.
Tentulah kita berharap kepada PGRI, melalui Kongresnya yang ke XXI [1 - 5 Juli 2013, yad.] akan dapat menemukan formula yang baik, sehingga lembaga pendidikan kita berperan laiknya strategion atau mu'askar yang mencetak para patriot bangsa yang gagah berani? Semoga. Amiin.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Narmada, 18 Juni 2013
CC. Abdul Kadir (Qedo), Lalu Muhir dkk.
Bismillahirrahanirrahim
Assalamu'alaikum Wr. Wb
Ketika diumumkan, Processor Tianhe-1, dengan PFlop [Puncak kecepatan] 2.507 oleh Pusat Nasional untuk Super computing, Cina pada Jumat, 30 - 10 - 2009, dunia terhenyak. kaget; Kini, Versi Tianhe-2 aias Milky Way-2 sudah muncul lagi dengan Puncak Kecepatan 30,7 petaflops. Lebih 10 kali lipat.
Dengan kemampuan komputer seperti itu para hacker/serdadu China dapat meretas semua alutsista canggih semacam pesawat AWACS, Stealth sampai Super Submarine lalu memerintahkannya untuk menembak sasaran sesuka hati meraka; Atau mereka dapat membobol semua rekening berfasilitas on-line sehingga menjadi manusia terkaya didunia tanpa lelah-lelah.
Ujung dari penemuan-penemuan raksasa semacam ini adalah munculnya KETAKUTAN massal yang berjuta kali lipat ketimbang kasak kusuk gerombolan perakit bom ecek-ecek berbahan C-4 yang teramat sulit didapatkan. Ketakutan tersebut lalu akan memacu persaingan sengit namun saling memfasilitasi seperti proses pembunuhan kuman penyakit dengan antiseptic yang selalu saja melahirkan generasi penyakit yang lebih mematikan.
Sebuah persaingan akan sangat bermanfaat ketika terjadi perimbangan, namun ketika disparitas antara kemampuan mereka yang dikejar dengan kemampuan mereka yang mengejar terlalu jauh, maka cara-cara tidak lazim dan melompati aturan akan menjadi pilihan yang dianggap wajib. Dari pada mati konyol, begitu kira-kita assumsinya. Ketakutan Hubbermars telah terbukti, kecepatan teknologi yang tidak setara dengan kecepatan akselerasi alamiah manusia akan melahirkan para penipu.
Suasana seperti diatas itu, juga dengan presisi yang sangat tinggi telah digambarkan oleh J.K. Rowling [Penulis Serial Harry Potter] ketika dia mengajak kita berselancar dalam dunia fiksinya "Asrama Hogwarts". Itulah sebuah pusat asrama yang digunakan para murid di sekolah sihir sebagai tempat tinggal dan mempersiapkan proses saling mengalahkan sekaligus saling memusnahkan diantara mereka. Disana berlaku sebuah etika paling dilarang namun paling sering digunakan yaitu " mengakali aturan". Konon, Kompetisi dan rivalitas yang paling sengit adalah antara Asrama Gryffindor dan Slytherin. Persis kayak rivalitas sekolah negeri dengan sekolah swasta di negeri kita ini.
Berbeda dengan sikon di atas adalah Nuansa Patriotisme dan taat aturan yang tersaji di dalam buku2 sejarah yang bisa kita runut mundur dari masa-masa sebelum revolusi industri sampai jauh kebelakang di Zaman pra sejarah. Mereka bertempur dengan penuh kejujuran dan tetap menghormati aturan main, sekalipun aturan itu tidak tertulis hitam di atas putih.
Ahli sejarah seperti Steven Saylor [Buku Roma An Epic Story], John Freely [Istanbul: The Imperial City] dan David Levering Lewis [The Greatness Of Andalus] memberi tahu kita bahwa para nenek moyang kita itu selalu mendirikan dan memperhatikan dengan sungguh2 sebuah lembaga terpenting yang mereka beri nama STRATEGION atau dengan Istilah Arab MU'ASKAR. Di sanalah para anak bangsa mendapatkan pengajaran, pendidikan dan pelatihan sampai benar2 mantap menguasai strategi, Taktik dan Kiat2 untuk membela martabat, kehormatan dan kejayaan bangsa. Sebuah kode etik paling keras yang berlaku adalah "khianat berarti mati".
Jika kita merenungi hal ini, sepertinya lembaga-lembaga pendidikan kita, kelihatan lebih mirip dengan Asrama Hogwarts. Anak2 tidak diajarkan pengetahuan bela negara, tidak dididik dan dilatih bekerja keras, tidak pula diberikan wawasan berupa World View Indonesia sebagai bangsa Timur yang adil dan beradab. Lembaga pendidikan kita memfasilitasi pertandingan menjadi pemenang tanpa diajari untuk apa mereka harus menang dan bagaimana cara memenangkan.
Tentulah kita berharap kepada PGRI, melalui Kongresnya yang ke XXI [1 - 5 Juli 2013, yad.] akan dapat menemukan formula yang baik, sehingga lembaga pendidikan kita berperan laiknya strategion atau mu'askar yang mencetak para patriot bangsa yang gagah berani? Semoga. Amiin.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Narmada, 18 Juni 2013
CC. Abdul Kadir (Qedo), Lalu Muhir dkk.