LANGKAH STRATEGIS MEMBANGUN NTB: 27
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Prejudis, adalah penyakit paling kronis yang diderita Bangsa Indonesia saat ini sehingga pra-sangka menjadi momok yang blatant menghantui setiap interaksi. Itulah sebabbnya memilih pekerjaan, merangkai kata2 sampai memadu padan gestur tubuh berubah menjadi tugas rutin yang rumit hanya untuk sekedar menghindari sakwa-sangka yang tak akan pernah berhasil.
Kategorisasi sosial yang menjadi landasan optimisme kebangsaan beralih fungsi menjadi penyekat-penyekat hati, pembangkit stereotipe, pengundang prasangka dan terakumulasi menjadi tindakan2 asosial. Sampai tahap ini, bangsa Indonesia dapat dikatakan "MADESU" [Masa Depan Suram]. Artinya kita butuh suluh untuk dapat menghindarinya.
Kalau tidak karena pekatnya prasangka itu, maka terus terang saya akan menyebut sebuah nama, tapi sebaiknya saya akan meyebut dulu kriterianya; Bahwa: Dia seorang yang tergolong masih muda, 40-an, pintar, gagah, pemberani, kaya raya, sehat wal afiat, berwawasan dunia.
Tapi, apakah dia nasionalis? Mari kita simak dialognya, ketika suatu hari dia ditanya:
Tanya: Anda sudah kaya raya, mengapa anda masuk dunia politik?
Jawab: Saya ingin berbuat untuk bangsa saya, karena saya tahu bangsa ini membutuhkan pengabdian saya.
Tanya: Tidak ada makan siang yang gratis, maka tidakkah sebenarnya anda sedang membuang jarum hanya untuk mendapatkan linggisnya?
Jawab: Mana nasionalisme kita kalau selalu berfikir begitu? Jika dihitung, sungguh dengan memasuki dunia politik saya sebenarnya merugi secara finansial.
Tanya: Kalau begitu, apa tujuan anda?
Jawab: Saya yakin bisa memberikan sesuatu untuk bangsa saya, maka saya akan lakukan hal itu.
Tanya: Akan banyak orang yang akan mencurigai anda dan menentang anda, bagaimana tanggapan anda?
Jawab: saya berbuat tidak atas dasar orang suka atau tidak, tetapi karena saya merasa saya diperlukan dan saya yakin mampu memberikan apa yang dibutuhkan bangsa saya itu.
Jika harta adalah kriteria sangat penting, maka ketahuilah konon, harta pribadinya mencapai 10 trilyun, sedangkan omzet perusahaannya mencapai 100 trilyun. Bagi dia, dunia sudah bagaikan sebuah desa, karna kantornya ada di berbagai pojok dunia dari London sampai New York, dari shanghai sampai Singapura. Dari sini saja sudah tergambar kehebatannya yang menandakan kemampuannya memfungsikan semua talenta super yang ada pada dirinya.
Memandang wajah dan postur tubuh sosok ini, saya terbayang pada Jengis Khan, seorang anak manusia yang telah mewariskan virus keberanian yang luar biasa, virus daya tahan terhadap penderitaan yang alang kepalang, virus kerja yang tidak mengenal lelah dan istirahat.
Sungguh, saya tidak berani berandai dan berkhayal, kelak akan seperti apa sepak terjang manusia super ini. Yang ingin saya ungkapkan adalah rasa gundah gulana, mengapa tidak cukup banyak manusia Indonesia yang seperti ini. Satu lagi fikiran yang muncul di benak saya ketika dia mendirikan sebuah persatuan yang diberinya nama : PERSATUAN INDONESIA, seakan memberikan warning bahwa bangsa ini memang bermasalah dalam persatuannya. Saya meng-ya-kannya dalam hal ini.
Dia tahu bangsa Indonesia memerlukan prestasi di dunia olah raga untuk melipur lara bangsanya, maka dia mensupport habis-habisan KONI; Dia sadar, jika langit informasi dikuasai asing maka bangsa ini akan semakin terjajah, maka dia rebut bisnis informatika ini; dia sadar partai politik memerlukan injeksi semangat kebangsaan, maka dia dukung parpol yang bertujuan seperti itu.
Kalau pada dua dekade terakhir ini, kita mengenal militansi para anggota Hizbu At-Tahrir. Karena nyaris tiada jeda telinga dan mata kita disajikan aksi-aksi herois kelompok ini, maka inisial HT, secara serta merta disematkan kepada Hizbut At-Tahrir. Tapi hanya dalam beberapa bulan aja, inisial ini berubah subjeknya. Dan hanya dilakuakan oleh seorang manusia. Kini inisial HT tertuju hanya kepada dia, Hari Tanoesoedibjo.
Saya benar2 mengimpikan akan ada sosok seperti HT yang muncul di Nusa Tenggara Barat yang kita cintai ini. Amiin.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Narmada, 1 Maret 2013
***disadur dari Majalah Tempo, 3 Maret 2013/ hal 125.
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Prejudis, adalah penyakit paling kronis yang diderita Bangsa Indonesia saat ini sehingga pra-sangka menjadi momok yang blatant menghantui setiap interaksi. Itulah sebabbnya memilih pekerjaan, merangkai kata2 sampai memadu padan gestur tubuh berubah menjadi tugas rutin yang rumit hanya untuk sekedar menghindari sakwa-sangka yang tak akan pernah berhasil.
Kategorisasi sosial yang menjadi landasan optimisme kebangsaan beralih fungsi menjadi penyekat-penyekat hati, pembangkit stereotipe, pengundang prasangka dan terakumulasi menjadi tindakan2 asosial. Sampai tahap ini, bangsa Indonesia dapat dikatakan "MADESU" [Masa Depan Suram]. Artinya kita butuh suluh untuk dapat menghindarinya.
Kalau tidak karena pekatnya prasangka itu, maka terus terang saya akan menyebut sebuah nama, tapi sebaiknya saya akan meyebut dulu kriterianya; Bahwa: Dia seorang yang tergolong masih muda, 40-an, pintar, gagah, pemberani, kaya raya, sehat wal afiat, berwawasan dunia.
Tapi, apakah dia nasionalis? Mari kita simak dialognya, ketika suatu hari dia ditanya:
Tanya: Anda sudah kaya raya, mengapa anda masuk dunia politik?
Jawab: Saya ingin berbuat untuk bangsa saya, karena saya tahu bangsa ini membutuhkan pengabdian saya.
Tanya: Tidak ada makan siang yang gratis, maka tidakkah sebenarnya anda sedang membuang jarum hanya untuk mendapatkan linggisnya?
Jawab: Mana nasionalisme kita kalau selalu berfikir begitu? Jika dihitung, sungguh dengan memasuki dunia politik saya sebenarnya merugi secara finansial.
Tanya: Kalau begitu, apa tujuan anda?
Jawab: Saya yakin bisa memberikan sesuatu untuk bangsa saya, maka saya akan lakukan hal itu.
Tanya: Akan banyak orang yang akan mencurigai anda dan menentang anda, bagaimana tanggapan anda?
Jawab: saya berbuat tidak atas dasar orang suka atau tidak, tetapi karena saya merasa saya diperlukan dan saya yakin mampu memberikan apa yang dibutuhkan bangsa saya itu.
Jika harta adalah kriteria sangat penting, maka ketahuilah konon, harta pribadinya mencapai 10 trilyun, sedangkan omzet perusahaannya mencapai 100 trilyun. Bagi dia, dunia sudah bagaikan sebuah desa, karna kantornya ada di berbagai pojok dunia dari London sampai New York, dari shanghai sampai Singapura. Dari sini saja sudah tergambar kehebatannya yang menandakan kemampuannya memfungsikan semua talenta super yang ada pada dirinya.
Memandang wajah dan postur tubuh sosok ini, saya terbayang pada Jengis Khan, seorang anak manusia yang telah mewariskan virus keberanian yang luar biasa, virus daya tahan terhadap penderitaan yang alang kepalang, virus kerja yang tidak mengenal lelah dan istirahat.
Sungguh, saya tidak berani berandai dan berkhayal, kelak akan seperti apa sepak terjang manusia super ini. Yang ingin saya ungkapkan adalah rasa gundah gulana, mengapa tidak cukup banyak manusia Indonesia yang seperti ini. Satu lagi fikiran yang muncul di benak saya ketika dia mendirikan sebuah persatuan yang diberinya nama : PERSATUAN INDONESIA, seakan memberikan warning bahwa bangsa ini memang bermasalah dalam persatuannya. Saya meng-ya-kannya dalam hal ini.
Dia tahu bangsa Indonesia memerlukan prestasi di dunia olah raga untuk melipur lara bangsanya, maka dia mensupport habis-habisan KONI; Dia sadar, jika langit informasi dikuasai asing maka bangsa ini akan semakin terjajah, maka dia rebut bisnis informatika ini; dia sadar partai politik memerlukan injeksi semangat kebangsaan, maka dia dukung parpol yang bertujuan seperti itu.
Kalau pada dua dekade terakhir ini, kita mengenal militansi para anggota Hizbu At-Tahrir. Karena nyaris tiada jeda telinga dan mata kita disajikan aksi-aksi herois kelompok ini, maka inisial HT, secara serta merta disematkan kepada Hizbut At-Tahrir. Tapi hanya dalam beberapa bulan aja, inisial ini berubah subjeknya. Dan hanya dilakuakan oleh seorang manusia. Kini inisial HT tertuju hanya kepada dia, Hari Tanoesoedibjo.
Saya benar2 mengimpikan akan ada sosok seperti HT yang muncul di Nusa Tenggara Barat yang kita cintai ini. Amiin.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Narmada, 1 Maret 2013
***disadur dari Majalah Tempo, 3 Maret 2013/ hal 125.