MALAYSIA SELAYANG PANDANG: 3 Ke Malaysia Terbawa Arus Rindu

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Tidak sulit untuk mengingatnya, karena tahun 1985 yang berarti 28 tahun yang lalu, ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di Bandara Kuala Lumpur adalah masa ketika gemuruh The Revival Of Islam telah mampu membangun semangat kesatuan. Sebuah judul tulisan dalam Majallah Panji Masyarakat " Dari Maroko sampai Maroke" seakan telah menyatukan Malaysia dan Indonesia menjadi dua buah provinsi dari sebuah negara islam Global. Tulisan itupun pada bulan yang sama ditajuk oleh Utusan Melayu dengan judul yang sama.

Seperti dua buah orkestra dengan dua orang dirijennya (yang baru mulai tertarik kepada arransemen Islami): Soeharto di Indonesia dengan vokalis Alamsyah ratu Perwira Negara dan Dr. Mahathir di Malaysia dengan vokalis Anwar Ibrahim. Dibelakang mereka berbaris backing vokal yang rancak seperti: Bang Imad, Kunto Widjoyo dan Amin Rais, Dawam Rahardjo, Baikuni, Sahirul Alim, Nur Cholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Abdullah Syukri dlsb, dan tentu saja ada strong-man behind the stage "M. Natsir" sebagai ketua Dewan Masdjid Indonesia. Adapun di pihak Malaysia ada Anwar Ibrahim, Mohammad Azmi, Syed Hussein, Syed Naquib, Hadi Awang, Asyari Muhammad dst dengan Encik Tuan Guru Nik Aziz Nik Mat sebagai the man behind the gun-nya.

Baik di Indonesia maupun Malaysia, seminar, diskusi, halaqah dan ulasan-ulasan koran dan majallah nyaris tak berbeda topik-topiknya. Cukup dicari di dua sumber saja : Masjid Salman Bandung dan Masjid IIUM/UKM Kuala Lumpur. Suasana itulah yang menyedot saya sampai berkeliling menjadi guru agama di Kampong-kampong Malaysia mulai dari Kedah, Johor, Trengganu, Kelantan dan Kuala Lumpur sendiri. Sama sekali tak ada rasa keterasingan.

Dari segi inpra struktur, seperti apa yang saya lihat saat itu, Malaysia masih belum apa-apa. Semua serba sedang dibuat, akan dibangun atau baru sekedar sedang direncanakan, bahkan kontraktor dan pekerjanyapun mayoritaas dari Indonesia. Tapi saat ini [November 2013] mimpi-mimpi itu dengan jelas telah menjadi nyata. Jalur-jalur tol yang luas dan bersih dihiasi taman-taman dan hutan buatan di kiri kanannya; Sungai Kampong Datuk Keramat yang dahulu kotor, bau dan semrawut kini mengalir bening dan bersih. Pasar kacau macam Chow Kit, Bangsar Baru atau Petaling Jaya kini laiknya seperti mall terbuka yang rapi dan bersih siang dan malam. Lahan-lahan terlantar antara KL - Kelantan kini sudah menjadi hamparan-hamparan nan hijau, pabrik duit kebun-kebun kelapa sawit atau karet. Telah terjadi pembalikan kondisi, jalan tol Semarang Bandung malah dibangun oleh kontraktor Malaysia, juga terminal-terminal SPBU Petronas dan Shell telah bertaburan mengejar jumlah SPBU Pertamina.

Saya masih ingat suatu ketika naik bus SKMK [Serikat Kendaraan Melayu Kelantan] yang robek dan butut, saat para penumpang turun di Kota Ipoh yang mirip tepi Hutan, tapi kini Negeri Perak telah memiliki sebuah kota metropolitan Ipoh City bagai Hongkong, connected every where dengan Kereta api Super Cepat dan bus-bus gagah dan artistik. Di kepala saya hanya ada sebuah analogi bahwa antara Indonesia dan Malaysia bagaikan perlombaan lari antara sprinter langsing dan tangkas dengan pelari gendut korban obesitas.

Saya mencoba mencari short-cut dengan menanyakan bagaimana sampah dikelola sehingga rumah tangga, pasar, terminal dll begitu bersih dan tertata baik? Kemana gerangan sampah-sampah dibawa dan bagaimana prosesnya? Dua hari berkeliling dan meretas ratusan kilo meter TPA tak saya temukan.

Short-cut kedua adalah mengelilingi kampus-kampus seperti IIUM, UKM, UPM dan UTP Petronas sepertinya mendapat jawaban yang sama: Luas, bersih, rapi dan indah tak berbeda dengan Universitas di Erofa. Dan sepertinya Malaysia tak hendak icon keislaman mereka menjadi terlekang sehingga masjid-masjid kampus dibangun "Luar Biasa Megah". Dalam urusan pembangunan material, Malaysia boleh dikatakan berhasil.

Sayang, 4 hari tentu bukanlah masa yang memadai untuk merekam semua pernak pernik dan geliat Bangsa Melayu Malaysia, terutama yang berkaitan dengan semangat ilmiyyah. Tapi sedikit tidak masih kita temukan bahwa Guru besar, Dosen, Guru Sekolah, Ustaz, Mahasiswa asal Indonesia masih cukup signifikan di sana.

Saya bertanya di dalam hati: "Apakah suasana gemah ripah dan kemegahan materi dapat dijadikan modal untuk melaju lebih cepat atau justru membuat para pemuda Malaysia menjadi semakin terlena dan masuk dalam pusaran materialistis?". Jika dahulu suasa penuh kekurangan berfungsi menjadi pembuka ladang-ladang perjuangan, celah-celah kreativitas bagi para pemuda laiknya pukulan gendang bertalu-talu yang senantiasa membangunkan mereka dari tidur lelap, kini setelah suasana berubah makmur, dengan cara apakah semangat juang itu bisa bertahan?

Akhirul kalam, jika ditimbang-timbang dan dikalkulasi, hasil sementara sama saja: Mereka yang merasa telah sampai di tujuan akan cenderung mengaso / rehat, dan mereka yang mengejar menyisakan energi untuk menyusul. Ini tentu berbahaya karena tujuan akhir kita bukan diterminal duniawiyah itu, tetapi bagaimana ummat kedua negara ini bekerja sama membangun sebuah peradaban baru yang Rahmatan Lil Alamiin. Demikianlah yang selalu kita teriakkan dengan kepalan tangan yang diacungkan tingi-tinggi dalam sesssi-sessi diskusi dekade 70 - 80an di PII, HMI, PMII, ICMI dlsb. Semoga ini mengingatkan kita semua. Amiin

Wassalamu'alaikum Wr. Wb