Bismillahirrahanirrahim
Assalamu'alikum Wr. Wb.
Assalamu'alikum Wr. Wb.
Di pagi yang masih buta,pukul
04.30, 2 Nopember 2016 datang sebuah berita:
"Badai laut ganas menerjang
sebuah speed boat dan menghempaskannya ke sebuah bukit karang di perairan
Tanjung Bemban antara Sumatra dan Malaysia. 25 dari 93 penumpangnya selamat.
Sisanya belum diketahui. Mayoritas penumpangnya adalah TKI NTB".
Tentu ini bukan pertama dari
berita sejenis. Setiap berita macam itu selalu menguras air mata sebab kita
tahu dibalik berita duka itu, (sebelumnya) ada nestapa hidup pedesaan yang
tidak terperi sehingga mencungkil mereka dari tempurung rumah derita untuk
mengadu peruntungan DI LUAR NEGERI. (Setelahnya) masih akan mengekor duka-lara
keluarga yang ditinggal mati; ada ibu tua yang sakit-sakitan, istri2 yang
kehilangan pelindung, anak-anak yatim yang entah bagaimana nasib akan
memperlakukan mereka. ...Kitapun menangis. Saya kira memang seharusnya begitu.
Turut berduka cita, orang bilang.
Tetapi kali ini, mata saya
menolak untuk menangis lagi. Mata bathinku berkata KITA HARUS MEMANDANG hal ini
bukan sebagai tragedi. Ini unjuk rasa, ini unjuk digjaya, ini isyarat dan janji
langit, yang sedang bercerita tentang KEHEBATAN MENTAL PANTANG MENYERAH KITA.
BERTARUNG SAMPAI MATI. Benar-benar memang mati.
Saya punya ratusan anggota Majlis
Taklim yang setiap dua tahun sekali pulang cuti (dua bulan) mengisinya dengan belajar
agama. Di majlis mereka bertanya dan banyak bercerita bahwa DI SANA mereka
berjuang untuk mencari modal uang untuk hidup keluarganya di NTB, mencari modal
pengalaman, ilmu dan semangat untuk nanti membangun kampung halaman mereka.
Sebab DI SINI yang tersedia baru "Katanya" saja.
Pernah
diantara mereka dengan lantang menolak dihinakan dengan ungkapan PAHLAWAN
DEVISA. Dia bilang:
"Kami pergi Lillahi ta'ala,
untuk menjaga martabat keluarga dan kampung halaman agar tidak menjadi pengemis
dan pencuri".
Saat-saat seperti itu, rasa malu
mengaduk-aduk rasa dan fikiran saya. Keikhlasan, patriotisme dan semangat
pantang menyerah adalah energi yang menggerakkan mereka. BUKAN UANG atau dengan
begitu kerennya kita menamainya DEVISA dan VALUTA ASING.
Ketika air mata menolak untuk
keluar, saya bertanya pada diri sendiri: lalu apa yang bisa kamu lakukan untuk
bela pati dan sungkawa pada saudaramu itu?
Saya tidak menemukan jawaban
apapun, karena mereka tidak memerlukan jawaban dengan kata-kata. Yang begitu
sudah membosankan, tidak lucu bahkan terkesan kitalah yang memanfaatkan derita
mereka untuk mengisi perut kita atau menaikkan prestise kita. Jawabannya NIHIL.
Tapi, tidak mungkin untuk tidak
melakukan sesuatu. Maka saya usulkan kepada Pemerintah untuk membuat Monumen
Abadi untuk mengenang patriotisme para penerjang badai itu. Biarkan kelak
monumen itulah yang akan berkisah kepasa anak, cucu kita bahwa KALIAN DAHULU
MEMILIKI NENEK MOYANG PETARUNG.
Ada seseorang mengirimi saya
messenger: Dari mana anggarannya? Saya jawab pendek: Dasar otak anggaran.
Kemauan bekerja saja belum kamu miliki, tapi kemauan menilep sudah muncul.
Messenger itu tidak dibalas lagi.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.